Memahami Ibadah
Allah menciptakan manusia tidak lain untuk beribadah kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku . ( QS adz-Dzariyat [51]: 56 ).
Ibnu Abbas menafsirkan ayat di atas dengan: agar mereka (jin dan manusia) menetapi ibadah kepada-Ku. Ibn al-Jauzi menafsirkan ayat di atas dengan: agar mereka tunduk dan merendahkan diri kepada-Ku (Zâd al-Masîr, 8/43). Maksud ayat di atas adalah agar mereka menjadi hamba Allah, melaksanakan hukum-Nya, dan patuh pada apa yang ditetapkan Allah kepada mereka (Ibn Hazm, Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal, 3/80). Inilah hakikat ibadah. Ibadah tidak lain adalah mengikuti dan patuh, diambil dari al-’ubûdiyyah; seseorang hanya menyembah Zat Yang ia patuhi dan Yang dia ikuti perintah (ketentuan)-Nya (Ibn Hazm, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, 1/90).
Ibadah juga diartikan sebagai perbuatan seorang mukallaf (yakni orang yang dibebani hukum) menyalahi keinginan hawa nafsunya sebagai pengagungan kepada Tuhannya (Al-Jurjani, at-Ta’rifât, 1/189). Dengan demikian, untuk beribadah, seorang hamba harus menghilangkan sama sekali keinginan hawa nafsunya. Artinya, tidak membiarkan kecenderungannya untuk menilai dan memilih bentuk dan ritual ibadah seperti apa yang sesuai (menurut kacamata dia) untuk al-Ma’bûd (Yang disembah). Dengan kata lain, ia mengedepankan ‘keinginan’ yang disembahnya dan menaati ketentuan-ketentuan-Nya. Walhasil, secara umum segala bentuk ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah merupakan ibadah.
Ibadah Mahdhah dan Ghayr Mahdhah
Saat ini di masyarakat ibadah ‘direduksi’ dan dipahami secara salah kaprah. Ibadah hanya dipahami sebagai aktivitas ritual semata (ibadah mahdhah) semata. Yang dikatakan ibadah dipersempit hanya mencakup shalat, zakat, puasa, haji, idul fitri, dll; di luar itu ‘dianggap’ bukan ibadah. Ada beberapa argumen yang mendasarinya. Pertama: Kesalahpahaman dalam memahami nash. Rasul Saw telah bersabda:
Islam dibangun oleh lima perkara: Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan puasa pada bulan Ramadhan. [HR. Bukhari].
Hadis di atas dipahami secara ’serampangan’; seseorang dianggap telah ‘berislam secara sempurna’ jika telah mencukupkan diri dengan bersyahadat, shalat, zakat, puasa, dan berhaji. Alasannya, karena ke lima hal tersebut merupakan tiang agama. Jika tiang agama sudah tegak maka Islam (sebagai bangunan) sudah bisa berdiri; yang lain hanyalah pelengkap dari tiang utama tersebut.
Selain itu, ada yang memahami hadis di atas secara sempit bahwa ibadah hanyalah mencakup kelima hal tersebut, sedangkan yang lain tidak terkategori ibadah. Dengan pemahaman inilah akhirnya bisa dimengerti jika sebagian dari masyarakat tidak menganggap aktivitas muamalah seperti berekonomi, berpolitik, bersosial kemasyarakatan dan menerapkan ‘uqûbât yang didasarkan pada syariat Islam sebagai ibadah, hanya karena semua itu dianggap bukan aktivitas yang secara langsung ‘berhubungan’ dengan Allah. Mereka beranggapan bahwa semua itu hanyalah urusan duniawi belaka.
Kedua: Kerancuan dan salah paham dalam memahami ibadah mahdhah dan ghayr mahdhah. Para ulama membagi ibadah menjadi dua: ibadah mahdhah dan ghayr mahdhah. Ibadah mahdhah, seperti yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi, adalah ibadah yang murni, di dalamnya tidak terdapat campuran selain-Nya (Al-Majmû’, 1/373). Adapun aktivitas lain, yakni aktivitas ketaatan dan kepatuhan seorang hamba kepada sang Khalik namun ada unsur ‘campur tangan’ manusia, baik dia sendiri atau orang lain, dikatakan sebagai ibadah saja.
Ini berarti, ibadah mahdhah dipahami sebagai bentuk real hubungan seorang hamba (manusia) dengan Allah yang di dalamnya hanya terdapat bentuk hubungan ini dan tidak terdapat bentuk hubungan yang lain; tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti segala hal yang terkait dengan masalah makanan, minuman, pakaian, dan akhlak; juga tidak tercampuri oleh bentuk hubungan manusia dengan manusia yang lain seperti segala hal yang terkait dengan masalah muamalat dan ‘uqûbat. Dengan kata lain, ibadah mahdhah (selanjutnya dikatakan ‘ibadah’ saja) mencakup shalat, puasa, zakat, haji, doa, zikir, membaca al-Qur’an, kurban Idul Adha, dan sebagainya.
Dari pengertian di atas menjadi jelas, bahwa semua hal di atas adalah ibadah selama masih dalam ruang lingkup penyembahan dan mencari ridha Allah SWT.
Namun, apa yang terjadi di masyarakat tidaklah demikian. Ibadah ‘dipersempit’ hanya khusus dalam ibadah mahdhah semata. Kategori di atas justru dipahami sebagai pemisahan mana aktivitas yang termasuk ibadah dan bukan. Ibadah direduksi sebagai hubungan seoarang hamba dengan Tuhannya secara langsung saja, sedangkan aktivitas yang tidak ada kaitannya atau ada campur tangan yang lain selain Allah maka itu semua bukan disebut ibadah; hanya aktivitas muamalat biasa.
Padahal sebagaimana kata Imam al-Mawardi, dalam Al-Hâwi, ibadah adalah mencakup apa saja yang dinyatakan sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah. Dari penjelasan ini jelas, bahwa seluruh aktivitas yang dilakukan untuk mendekatkan diri (ber-taqarrub ilâ Allâh) maka seluruhnya dikatakan ibadah. Jadi, ketika seorang Muslim berekonomi secara islami, berpolitik secara islami, dan berpartai secara islami pada hakikatnya ia adalah sedang melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan kata lain, tatkala seorang Muslim menjalankan seluruh aspek kehidupan secara islami pada hakikatnya ia sedang melakukan ibadah.
Islam Kâffah
Islam adalah agama atau ideologi yang berbeda dengan yang lain. Dari segi wilayah ajarannya, Islam bukan saja agama yang mengurusi masalah ruhiah (spiritual), tetapi juga meliputi masalah siyâsiyah atau syariah. Secara ruhiah Islam mengatur urusan keakhiratan, seperti surga, neraka, pahala, siksa dan dosa; tercakup di dalamnya masalah ibadah, seperti shalat, zakat, haji, puasa, dan jihad. Secara siyâsiyah Islam mengatur urusan kedunian seperti politik, ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, peradilan, dan sebagainya. Keduanya sama-sama dibangun berdasarkan akidah yang sama, yaitu akidah Islam. Karena itulah, Islam bisa disebut sebagai ideologi.
Kelengkapan dan kesempurnaan Islam sebagai ideologi telah demikian tegas dijelaskan oleh Allah. Allah SWT berfirman:
Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (al-Qur’an) ini untuk menerangkan segala sesuatu. (Qs. an-Nahl [16]: 89).
Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian. (Qs. al-Mâ’idah [5]: 3).
Dari kedua nash di atas jelas sekali, bahwa Allah telah menyempurnakan agama-Nya sehingga tidak ada satu masalah pun yang belum pernah dan tidak dibahas atau diterangkan oleh Allah SWT. Penjelasan yang membahas seluruh masalah tersebut secara umum dinyatakan dalam bentuk umum dan global dengan penunjukan (dalâlah) yang bisa digali uraiannya.
Walhasil, Islam bukan hanya mengatur aspek ibadah ritual semata, namun mencakup segala aspek kehidupan. Kesempurnaan Islam ini bukan hanya sebagai doktrin atau ajaran semata, namun juga merupakan tuntutan pelaksanaan sebagai konsekwensi logis dari keberimanan dan keberislaman seseorang. Artinya, tatkala seseorang telah mengikrarkan diri masuk dan memeluk agama Islam, maka dia harus meyakini secara total seluruh aturan dan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana tertuang dalam sumber-sumber hukum Islam, yang selanjutnya dimanivestasikan dalam perkataan dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Karena Islam telah memberikan garansi bahwa islam mampu mengatur segala aspek kehidupan, maka dia pun harus dengan sungguh-sungguh menstandarkan seluruh pemikiran dan sikapnya dengan syariat Islam; tatkala berdagang, berpolitik, berhubungan dengan manusia lain, dan sebagainya. Walhasil, Islam menuntut kita tidak hanya mencukupkan diri dengan sekadar melaksanakan rukun Islam semata, namun harus lebih mengoptimalkan diri dengan menambah dan melaksanakan syariat Allah yang lain secara keseluruhan.
Ibadah sebagai Kekuatan Ruhiah
Secara khusus, ibadah mahdhah seharusnya menjadi energi pendorong dan pembakar semangat yang dahsyat untuk senantiasa ber- taqarrub dengan Allah. Sebab, ibadah adalah kebutuhan seorang hamba kepada Khaliknya. Dengan ibadah, seorang hamba akan menyadari betul bahwa dia penuh dengan keterbatasan dan kelemahan untuk mencapai tujuan hidup, diridhai oleh Allah SWT baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Dengan kesadaran ini maka dia akhirnya secara total menyerahkan jiwa-raganya sesuai dengan tuntutan Allah. Tatkala beribadah, semakin bersemai keimanan dan ketakwaannya. Modal iman dan takwa inilah yang akhirnya menjadi kekuatan ruhiah terbesar dalam melaksanakan Islam secara kâffah.
Seorang hamba, tatkala melaksanakan ibadah mahdhah , merasakan ‘transfer energi’ dari sang Khalik. Aktivitas ibadah menjadi proses kontemplasi dan ‘dialog’ secara langsung dengan Tuhannya. Segala keluh-kesah, kepenatan, dan beban hidup ditumpahkan segalanya kepada sang Pencipta; ia mohon petunjuk dan bimbingan-Nya agar bisa mengatasi semua masalahnya. Dia yakin, Allah senantiasa hadir dan mendengarkan seluruh permintaan dan doanya. Sebab, sikap ihsan telah tertancap dengan kuat dalam sanubarinya, yakni ia beribadah dengan merasakan ‘kehadiran’ Allah, kalaupun ia tidak melihat-nya, dia yakin bahwa Allah melihatnya.
Dengan demikian, pelaksanaan ibadah mahdhah benar-benar menjadi satu energi penggerak utama dalam menjalankan Islam secara kâffah.{khabarislam]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan